Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan sebanyak 46 produk bank syariah masih terganjal di Dewan Syariah Nasional (DSN). Produk tersebut belum mendapatkan fatwa halal untuk di perdagangkan di industri perbankan syariah.
Demikian diungkapkan oleh Direktur Direktorat Perbankan Syariah Mulya E. Siregar ketika ditemui di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (03/12/2010).
"Bank Indonesia itu mengumpulkan produk-produk perbankan di luar negeri seperti di Malaysia, Yordania, Sudan, dan Bahrain. Kita mendapatkan 46 produk yang sebenarnya bisa diterapkan di perbankan syariah Indonesia," ujar Mulya.
Namun, Mulya mengatakan produk tersebut masih harus didapatkan label halal dan sertifikasi terlebih dahulu di DSN. "Nah hingga saat ini DSN belum mengeluarkan fatwa dan sertifikasinya sehingga produk perbankan syariah masih sangat minim," tambahnya.
Selain itu, Mulya juga mengungkapkan adanya kebutuhan perbankan syariah yang saat ini sangat mendesak. Di mana sebuah aturan akad kredit dengan nama 'Tawarrouq'.
"Tawarrouq merupakan sebuah akad kredit di perbankan syariah antara kedua belah pihak yang di dalamnya terdapat perjanjian jangka waktu pembayaran dan nilai yang ditentukan," katanya.
Ia mencontohkan, misalnya ada seseorang yang membeli barang dengan memakai kredit perbankan dengan jangka waktu 3 tahun. Harga barang tersebut dimisalkan Mulya seharga Rp 100.000 kemudian bank memberikan tenggat waktu 3 tahun tetapi sesuai akad yang dijanjikan nasabah dapat mengembalikan dana Rp 130.000 di tahun ketiga.
"Tetapi dipertengahan nasabah bisa menjual lagi ke bank sebelum 3 tahun. Dengan harga yang sama ketika dia membeli sebesar Rp 100.000," tuturnya.
Hal ini, lanjut Mulya diminati perbankan syariah namun belum juga mendapatkan fatwa dari DSN.
Lebih jauh Ia mengharapkan adanya diskusi bersama antara DSN, industri perbankan syariah dan bank sentral untuk sama-sama membahas mengenai fatwa tersebut. (dru/dnl)
Demikian diungkapkan oleh Direktur Direktorat Perbankan Syariah Mulya E. Siregar ketika ditemui di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (03/12/2010).
"Bank Indonesia itu mengumpulkan produk-produk perbankan di luar negeri seperti di Malaysia, Yordania, Sudan, dan Bahrain. Kita mendapatkan 46 produk yang sebenarnya bisa diterapkan di perbankan syariah Indonesia," ujar Mulya.
Namun, Mulya mengatakan produk tersebut masih harus didapatkan label halal dan sertifikasi terlebih dahulu di DSN. "Nah hingga saat ini DSN belum mengeluarkan fatwa dan sertifikasinya sehingga produk perbankan syariah masih sangat minim," tambahnya.
Selain itu, Mulya juga mengungkapkan adanya kebutuhan perbankan syariah yang saat ini sangat mendesak. Di mana sebuah aturan akad kredit dengan nama 'Tawarrouq'.
"Tawarrouq merupakan sebuah akad kredit di perbankan syariah antara kedua belah pihak yang di dalamnya terdapat perjanjian jangka waktu pembayaran dan nilai yang ditentukan," katanya.
Ia mencontohkan, misalnya ada seseorang yang membeli barang dengan memakai kredit perbankan dengan jangka waktu 3 tahun. Harga barang tersebut dimisalkan Mulya seharga Rp 100.000 kemudian bank memberikan tenggat waktu 3 tahun tetapi sesuai akad yang dijanjikan nasabah dapat mengembalikan dana Rp 130.000 di tahun ketiga.
"Tetapi dipertengahan nasabah bisa menjual lagi ke bank sebelum 3 tahun. Dengan harga yang sama ketika dia membeli sebesar Rp 100.000," tuturnya.
Hal ini, lanjut Mulya diminati perbankan syariah namun belum juga mendapatkan fatwa dari DSN.
Lebih jauh Ia mengharapkan adanya diskusi bersama antara DSN, industri perbankan syariah dan bank sentral untuk sama-sama membahas mengenai fatwa tersebut. (dru/dnl)